dikutip dari http://pembinaanpribadi.blogspot.com/2012/12/istri-bukan-pembantu.html , bagus
dibaca bagi para suami maupun calon suami, supaya bisa menyadari keberadaan
seorang istri itu seharusnya bagaimana. .let's check it out!
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz
ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar.
Mudah2an Ustadz masih ingat materi "memuliakan istri", ketika
itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci,
menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi
kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra
diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan
hadits/ayat Qur'an yg mendasarinya. Pertanyaan saya :
1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang
rinci ya ustadz.
2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para
ulama, kalo ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya.
3. Dalam terjemahan
khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada
saat wukuf diarafah, disebutkan" ...dan berikanlah istrimu makanan
dan pakain yang layak," secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan
makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap
makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini
terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi.
Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi
lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg
ketetapan Allah. Amin
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Widia
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya
mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah
disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan
ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan
ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan
di hati dan juga merepotkan.
Tentang materi 'memuliakan istri' itu, memang saya mendengar
bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata 'kenikmatan' para bapak
selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya.
Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah,
baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh
lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan
itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan. Coba, ibu bisa lihat di pasar dan
supermarket di Doha, yang belanja itu bapak-bapak kan? Bukan ibu-ibu, ya?
Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan
adalah bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan
kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan
lihat sendiri di Doha.
Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar,
salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal
itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya
sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak.
Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan
ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita
di Indonesia, kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti
ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha,
yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas
bapak-bapak pulang kerja.
Mana Ayat Quran atau Haditsnya?
Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu,
begitu juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang
bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian,
menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami.
Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa
kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan
seperti itu secara eksplisit.
Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW
dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat
eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda.
Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja
tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan
wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik
tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar
kewajiban wanita bekerja untuk suaminya.
Sebaliknya, Asma' binti Abu Bakar justru diberi pembantu
rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma' memang tidak mampu menyediakan
pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu
ditangani oleh sang pembantu. Asma' memang wanita darah biru dari kalangan Bani
Quraisy.
Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir
radhiyallahu 'anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di
kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering
telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang
yang bisa disuruh untuk memasak buat
istrinya, atau mencuci baju istrinya.
Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan
mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju
memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib
diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا
فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى
بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telahmenafkahkan sebagian
dari harta mereka. (QS. An-Nisa' : 34)
Pendapat 5 Mazhab Fiqih
Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan
kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau
kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik.
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab
Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya
kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai' menyebutkan :
Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah,
lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh
dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan
: Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat
roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami
harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak
makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada
disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami
memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat,
namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib
berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi'i
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu
Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat
untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang
ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual
(istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada
suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang
sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash
Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka
pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi
minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita
juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada
kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain
yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa
menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan
pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang
bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf
Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau
cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks
kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu,
mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari
nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha
Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan
suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh
suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada
istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah
tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus 'menggaji' para istri. Dan uang
gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan
gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari
gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri.
Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk
mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima,
asalkan istri juga harus dapat 'jatah gaji' yang pasti dari suami, di luar
urusan kebutuhan rumah tangga.
Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan
Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam
sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga
tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan
gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih
saja dikekang.
Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri
sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang
istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga
bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci,
menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di
pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus
melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan
jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian.
Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama
Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
0 komentar:
Posting Komentar