Pages

Categories

Blog Archive

find me on facebook

Find me on Twitter @angkaSEBELAS

Minggu, 11 November 2012

Guruku, simpanlah rotanmu itu!

Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tau beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita jadi pintar dididik pak guru

Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara.......




Lagu tersebut adalah sebuah lirik lagu lawas yang sering diputar di TVRI sekitar tahun 90 – 95 an, tapi kini sudah tidak pernah ditampilkan lagi. Saya sendiri pun belum pernah mendengarkan seperti apa lagu ini. Apakah Anda tahu?

Menjadi seorang guru, hakikatnya merupakan panggilan yang sungguh mulia. Apalagi perbedaan antara pendeskripsian profesi guru zaman dulu dengan zaman sekarang. Kalau dulu, guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, jaman sekarang malah  menjadi sebuah profesi yang tidak sederhana dan bukan tanpa tanda jasa lagi. Bahkan profesi seorang guru bisa dianggap sebagai luar biasa dan tidak bisa kita memandang hanya sebelah mata saja. Namun dengan seiring berjalannya perubahan itu, banyak terjadi tubrukan tubrukan kecil antara guru dengan siswa, dan guru dengan orang tua siswa. Mengapa bisa demikian?

Sebagian pendapat kolot mengatakan bahwa pendidikan tidaklah lepas dari kata kekerasan yang sering dihubungkan dengan sistem kedisiplinan. Bahkan tidak jarang istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik, sudah lazim digantikan dengan kata “keras”.

Hal ini kemudian ditunjang dengan penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan kemilitera itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras” ini – istilah sekarang adalah kekerasan – juga ikut diambil alih. Teriakan, tendangan, tamparan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya di bidang pelajaran yang melatih fisik seperti olah raga.

Namun saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua guru olah raga suka main pukul. Tapi sejarahnya sering kali mengidentikan guru olah raga dengan guru yang suka menghukum – push up atau lari keliling lapangan – dan suka memukul atau menendang terutama anak yang bandel.

Dari sinilah kemudian cara kekerasan dicontoh oleh guru-guru di bidang lain – biasanya materi pelajaran yang “berat” bagi siswa secara umum, misalnya matematika dan ilmu pengetahuan alam. Kekerasan pendidik di bidang ini bisa berbentuk bentakan, merobek buku pe-er bagi yang lupa melakukan pekerjaan rumahnya, atau menyuruh anak didik berdiri di tengah lapangan pada hari panas terik.
Bagaimanakah seharusnya para guru, pendidik dan pengajar, bersikap enghadapi kebandelan siswa tanpa harus menggunakan kekerasan?

Anak didik tidak jauh berbeda dengan manusia biasa. Mereka akan membentuk pertahanan diri apabila diserang. Pertahanan itu berupa balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, atau lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas.
Khususnya untuk guru-guru yang muslim, seharusnya kita tidak memberikan tempat untuk kata kekerasan pada proses belajar mengajar. Berbagi sedikit pengalaman saya sewaktu masih duduk di bangku sekolah mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, rasanya miris kalau melihat kekerasan di depan mata dengan alasan menghukum siswa yang tidak disiplin atau tidak mematuhi peraturan. Sewaktu sekolah dasar, bermacam-macam bentuk kekerasan fisik yang diberikan oleh para guru, mulai dari menjewer, mencubit, memukul kuku menggunakan penghapus kayu, memukul tangan menggunakan penggaris, dsb. Sebagai anak yang masih ingusan, jujur tidak semua dari kami yang sengaja untuk melanggar peraturan yang ada. Jika terbukti salah dan dihukum, kami hanya bisa menangis. Saat pulang ke rumah pun akan tambah dimarahi orang tua. Sungguh miris jika diingat-ingat.

Undang-undang perlindungan anak mulai dipanaskan saat saya menduduki bangku sekolah menengah pertama. Mulai saat itu, orang tua yang mengetahui bahwa anaknya mendapat perlakuan kekerasan dari pihak sekolah tidak segan-segan untuk mengadu secara langsung kepada pihak yang berhak menangani masalah ini. Bahkan dulu, ada orang tua teman saya yang tidak segan-segan mengadu melalui siaran udara (radio). Sungguh memalukan sekali bagi pihak sekolah dan terutama bagi guru pelaku kekerasan yang dengan sengaja disebut namanya oleh orang tua teman saya itu. Padahal hanya karena masalah sepele, teman saya lupa membawa buku catatan mata pelajaran guru tersebut, karena guru saya waktu itu sedang sakit gigi, maka emosinya memuncak dan memukul telapak tangan kawan saya dengan penggaris besi hingga berdarah.

Alhamdulillah semenjak duduk di bangku sekolah menengah atas, tidak ada kekerasan fisik yang saya temui saat itu. Awalnya orang tua saya niat memasukkan saya ke pesantren, namun karena mendengar cerita teman-teman bahwa hidup di pesantren dan sekolah Islam itu penuh dengan kekerasan, maka saya pun mengurungkan niat untuk melanjutkan sekolah saya ke pesantren dan mereka pun menyarankan saya untuk mensurvei ke sekolah umum biasa saja. Namun pada akhirnya setelah melakukan shalat istikharah, diambilah jalan tengah, saya melanjutkan sekolah ke sekolah Islam MAN 1 Batam. Di sana saya belajar banyak hal, dan saya sadar sebenarnya Islam itu tidak identik dengan kekerasan, mungkin bagi teman-teman saya yang tadi mengatakan pesantren itu keras karena mereka terbiasa hidup semena-semena sesuka hati, maka sekali mereka dikekang, mereka merasa bahwa itu kekerasan.

Lulus dari MAN, saya mulai mencari pekerjaan. Awalnya tidak ada niat untuk menjadi seorang guru, namun kadang terasa mimpi, saya bisa menjadi seorang guru walaupun tidak berstatus guru resmi karena saya mengajar les bahasa Inggris pada sebuah yayasan swasta Islam.

Di saat itu lah saya merasakan gejolak-gejolak, kebimbangan, merasa benar-benar diuji kesabarannya. Di saat anak-anak pada awalnya kurang menghargai saya, karena saya guru termuda, mulai lah terbesit untuk mengundurkan diri saja. Namun setelah mengikuti pelatihan – pelatihan, saya mulai menyusun strategi untuk mendekatkan diri dengan mereka. Saya bahkan mengambil kesimpulan, bila mereka tidak mematuhi kita dan kita sedikit saja membentak dia, maka dia akan selamanya membangkang. Mereka sebenarnya adalah makhluk yang lemah yang mudah diajak berunding. Mereka mudah percaya dengan orang lain, apalagi orang yang dianggapnya lebih dewasa dan pandai. Membuka hati anak untuk menerima pendapat orang dewasa, sebetulnya adalah seni menumbuhkan kepercayaan. Metode berteman yang saya terapkan kepada mereka, saya menuruti kemauan mereka, dan saat mereka sudah mulai dekat dan percaya dengan kita, mulailah kita menyusupkan materi – materi dan menjelaskan tentang bagaimana seharusnya adab seorang siswa kepada gurunya.

Ingatlah sobat, Islam itu agama damai. Jika sejak dini anak – anak sudah diajarkan kekerasan, tidak menutup kemungkinan kelak dialah pengganti Amrozi dan kawan – kawan. Jangan salahkan pula, jika belum setahun mereka pisah dari kita, mereka akan pura – pura tidak mengenal kita lagi.

Menyinggung dari judul essay saya “Guruku, simpanlah rotanmu itu!”. Pasti anda bertanya – tanya, kenapa rotan? Ya, dulu sewaktu mengaji TPA, guru saya selalu membawa rotan. Niatnya sih  baik, untuk menghukum anak – anak yang tidak mau melaksanakan shalat secara berjamaah, tapi terus terang tetap saja itu tidak baik. Hal yang seperti itu bisa mempengaruhi perkembangan anak loh.. Dari pelatihan yang saya ikuti, penelitian di Jepang membuktikan bahwa pada saat anak dibentak saja, maka akan hanguslah atau terputuslah satu sel saraf otaknya. Bagaimana kalau dipukul dan dikasari? Wallahualam..

Maka dari itu, saya menengajak bagi guru – guru sekalian, yang walaupun dulunya sering mendapat perlakuan kekerasan dari gurunya bahkan sampai menerima “libasan rotan”, jika ingin dihargai oleh anak didiknya, jangan sekali – kali kita melakukan hal yang sama pada anak didik kita. Cukuplah kita yang merasakan, dan itu semua adalah masalalu kita. Terutama guru – guru yang bernota bene sebagai seorang muslim dan muslimah, tunjukkan lah kepada anak didik kita bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian. Mari kita mulai dari diri kita, untuk menciptakan kedamaian dalam dunia pendidikan! Karena sesungguhnya damai itu Indah. Semoga anak didik kita bisa menyanyikan lagu pada awal tulisan ini atau lagu – lagu lain yang bertemakan guru penuh hikmat tidak hanya sekedar menyanyi saja.
separador

0 komentar:

Posting Komentar


About me

Foto saya
“I'm selfish, impatient and a little insecure. I make mistakes, I am out of control and at times hard to handle. But if you can't handle me at my worst, then you sure as hell don't deserve me at my best.” ― Marilyn Monroe

With My Beloved Husband

With My Beloved Husband
“Love is that condition in which the happiness of another person is essential to your own.” ― Robert A. Heinlein, Stranger in a Strange Land

with my family

with my family
they are my home, the place where I go..I love my family :)

Childish Crew

Childish Crew
suka lollipop, rajin minum susu, ngemil, makan mie, itulah childish crew :) ada Lidia, Aini, Nurlina, and Devi plus Nofi (lima serangkai)

with jepi and amoii

with jepi and amoii
we love hang out together, especially to Mega Mall Batam Centre :)

I love Rain

I love Rain
kamu suka hujan? aku suka. karena hujan menyimpan banyak cerita berbeda di setiap tetesnya :)