Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa
Kita jadi tau beraneka bidang ilmu dari siapa
Kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara.......
Lagu tersebut adalah sebuah lirik lagu lawas yang sering
diputar di TVRI sekitar tahun 90 – 95 an, tapi kini sudah tidak pernah
ditampilkan lagi. Saya sendiri pun belum pernah mendengarkan seperti apa lagu
ini. Apakah Anda tahu?
Menjadi seorang guru, hakikatnya merupakan panggilan yang
sungguh mulia. Apalagi perbedaan antara pendeskripsian profesi guru zaman dulu
dengan zaman sekarang. Kalau dulu, guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda
jasa, jaman sekarang malah menjadi
sebuah profesi yang tidak sederhana dan bukan tanpa tanda jasa lagi. Bahkan
profesi seorang guru bisa dianggap sebagai luar biasa dan tidak bisa kita
memandang hanya sebelah mata saja. Namun dengan seiring berjalannya perubahan
itu, banyak terjadi tubrukan tubrukan kecil antara guru dengan siswa, dan guru
dengan orang tua siswa. Mengapa bisa demikian?
Sebagian pendapat kolot mengatakan bahwa pendidikan tidaklah
lepas dari kata kekerasan yang sering dihubungkan dengan sistem kedisiplinan.
Bahkan tidak jarang istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak
didik, sudah lazim digantikan dengan kata “keras”.
Hal ini kemudian ditunjang dengan penggunaan kekerasan dalam
membina sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran.
Ketika kemudian cara-cara pendidikan kemilitera itu diadopsi oleh dunia
pendidikan sipil, maka cara “keras” ini – istilah sekarang adalah kekerasan –
juga ikut diambil alih. Teriakan, tendangan, tamparan menjadi cara-cara biasa
dalam membina kedisiplinan anak didik, khususnya di bidang pelajaran yang
melatih fisik seperti olah raga.
Namun saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua guru olah
raga suka main pukul. Tapi sejarahnya sering kali mengidentikan guru olah raga
dengan guru yang suka menghukum – push up atau lari keliling lapangan – dan
suka memukul atau menendang terutama anak yang bandel.
Dari sinilah kemudian cara kekerasan dicontoh oleh guru-guru
di bidang lain – biasanya materi pelajaran yang “berat” bagi siswa secara umum,
misalnya matematika dan ilmu pengetahuan alam. Kekerasan pendidik di bidang ini
bisa berbentuk bentakan, merobek buku pe-er bagi yang lupa melakukan pekerjaan
rumahnya, atau menyuruh anak didik berdiri di tengah lapangan pada hari panas
terik.
Bagaimanakah seharusnya para guru, pendidik dan pengajar,
bersikap enghadapi kebandelan siswa tanpa harus menggunakan kekerasan?
Anak didik tidak jauh berbeda dengan manusia biasa. Mereka
akan membentuk pertahanan diri apabila diserang. Pertahanan itu berupa balas
membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti, atau lari bila
dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas.
Khususnya untuk guru-guru yang muslim, seharusnya kita tidak
memberikan tempat untuk kata kekerasan pada proses belajar mengajar. Berbagi
sedikit pengalaman saya sewaktu masih duduk di bangku sekolah mulai dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, rasanya miris kalau melihat
kekerasan di depan mata dengan alasan menghukum siswa yang tidak disiplin atau
tidak mematuhi peraturan. Sewaktu sekolah dasar, bermacam-macam bentuk
kekerasan fisik yang diberikan oleh para guru, mulai dari menjewer, mencubit,
memukul kuku menggunakan penghapus kayu, memukul tangan menggunakan penggaris,
dsb. Sebagai anak yang masih ingusan, jujur tidak semua dari kami yang sengaja
untuk melanggar peraturan yang ada. Jika terbukti salah dan dihukum, kami hanya
bisa menangis. Saat pulang ke rumah pun akan tambah dimarahi orang tua. Sungguh
miris jika diingat-ingat.
Undang-undang perlindungan anak mulai dipanaskan saat saya
menduduki bangku sekolah menengah pertama. Mulai saat itu, orang tua yang
mengetahui bahwa anaknya mendapat perlakuan kekerasan dari pihak sekolah tidak
segan-segan untuk mengadu secara langsung kepada pihak yang berhak menangani
masalah ini. Bahkan dulu, ada orang tua teman saya yang tidak segan-segan
mengadu melalui siaran udara (radio). Sungguh memalukan sekali bagi pihak
sekolah dan terutama bagi guru pelaku kekerasan yang dengan sengaja disebut
namanya oleh orang tua teman saya itu. Padahal hanya karena masalah sepele,
teman saya lupa membawa buku catatan mata pelajaran guru tersebut, karena guru
saya waktu itu sedang sakit gigi, maka emosinya memuncak dan memukul telapak
tangan kawan saya dengan penggaris besi hingga berdarah.
Alhamdulillah semenjak duduk di bangku sekolah menengah
atas, tidak ada kekerasan fisik yang saya temui saat itu. Awalnya orang tua
saya niat memasukkan saya ke pesantren, namun karena mendengar cerita
teman-teman bahwa hidup di pesantren dan sekolah Islam itu penuh dengan
kekerasan, maka saya pun mengurungkan niat untuk melanjutkan sekolah saya ke
pesantren dan mereka pun menyarankan saya untuk mensurvei ke sekolah umum biasa
saja. Namun pada akhirnya setelah melakukan shalat istikharah, diambilah jalan tengah,
saya melanjutkan sekolah ke sekolah Islam MAN 1 Batam. Di sana saya belajar
banyak hal, dan saya sadar sebenarnya Islam itu tidak identik dengan kekerasan,
mungkin bagi teman-teman saya yang tadi mengatakan pesantren itu keras karena
mereka terbiasa hidup semena-semena sesuka hati, maka sekali mereka dikekang,
mereka merasa bahwa itu kekerasan.
Lulus dari MAN, saya mulai mencari pekerjaan. Awalnya tidak
ada niat untuk menjadi seorang guru, namun kadang terasa mimpi, saya bisa
menjadi seorang guru walaupun tidak berstatus guru resmi karena saya mengajar
les bahasa Inggris pada sebuah yayasan swasta Islam.
Di saat itu lah saya merasakan gejolak-gejolak, kebimbangan,
merasa benar-benar diuji kesabarannya. Di saat anak-anak pada awalnya kurang
menghargai saya, karena saya guru termuda, mulai lah terbesit untuk
mengundurkan diri saja. Namun setelah mengikuti pelatihan – pelatihan, saya
mulai menyusun strategi untuk mendekatkan diri dengan mereka. Saya bahkan
mengambil kesimpulan, bila mereka tidak mematuhi kita dan kita sedikit saja
membentak dia, maka dia akan selamanya membangkang. Mereka sebenarnya adalah
makhluk yang lemah yang mudah diajak berunding. Mereka mudah percaya dengan
orang lain, apalagi orang yang dianggapnya lebih dewasa dan pandai. Membuka
hati anak untuk menerima pendapat orang dewasa, sebetulnya adalah seni
menumbuhkan kepercayaan. Metode berteman yang saya terapkan kepada mereka, saya
menuruti kemauan mereka, dan saat mereka sudah mulai dekat dan percaya dengan
kita, mulailah kita menyusupkan materi – materi dan menjelaskan tentang
bagaimana seharusnya adab seorang siswa kepada gurunya.
Ingatlah sobat, Islam itu agama damai. Jika sejak dini anak
– anak sudah diajarkan kekerasan, tidak menutup kemungkinan kelak dialah
pengganti Amrozi dan kawan – kawan. Jangan salahkan pula, jika belum setahun
mereka pisah dari kita, mereka akan pura – pura tidak mengenal kita lagi.
Menyinggung dari judul essay saya “Guruku, simpanlah rotanmu
itu!”. Pasti anda bertanya – tanya, kenapa rotan? Ya, dulu sewaktu mengaji TPA,
guru saya selalu membawa rotan. Niatnya sih
baik, untuk menghukum anak – anak yang tidak mau melaksanakan shalat
secara berjamaah, tapi terus terang tetap saja itu tidak baik. Hal yang seperti
itu bisa mempengaruhi perkembangan anak loh.. Dari pelatihan yang saya ikuti,
penelitian di Jepang membuktikan bahwa pada saat anak dibentak saja, maka akan
hanguslah atau terputuslah satu sel saraf otaknya. Bagaimana kalau dipukul dan
dikasari? Wallahualam..
Maka dari itu, saya menengajak bagi guru – guru sekalian,
yang walaupun dulunya sering mendapat perlakuan kekerasan dari gurunya bahkan
sampai menerima “libasan rotan”, jika ingin dihargai oleh anak didiknya, jangan
sekali – kali kita melakukan hal yang sama pada anak didik kita. Cukuplah kita
yang merasakan, dan itu semua adalah masalalu kita. Terutama guru – guru yang
bernota bene sebagai seorang muslim dan muslimah, tunjukkan lah kepada anak
didik kita bahwa Islam adalah agama yang penuh kedamaian. Mari kita mulai dari
diri kita, untuk menciptakan kedamaian dalam dunia pendidikan! Karena
sesungguhnya damai itu Indah. Semoga anak didik kita bisa menyanyikan lagu pada
awal tulisan ini atau lagu – lagu lain yang bertemakan guru penuh hikmat tidak
hanya sekedar menyanyi saja.
0 komentar:
Posting Komentar