Gemuruh ombak berkejaran, nyiur melambai tertiup angin
semilir, menemani duduknya seorang yang tua di atas kayu lapuk di pinggir
pantai. Meratapi kelamnya fajar beberapa puluh tahun silam. Langit memerah saat itu. Ya, lelaki tua kesepian dan pincang
yang lebih memilih menghabiskan hari ditemani senja yang indah itu adalah aku.
Aku hanya bisa menutup hariku seperti itu, karena masa senjaku tak seindah
senja di pantai marina yang indah ini.
Azan maghrib tiba, aku kembali ke gubuk kecil yang
sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk dihuni, tapi apalah daya hanya itu yang
ku punya. Usai melaksanakan shalat maghrib, aku selalu duduk di beranda rumah
tetangga yang berdampingan dengan gubukku. Tapi malam itu lain, tak seperti
biasanya. Seorang pemuda menghampiriku, mulai menyapa akrab lelaki tua ini.
“Kenapa Kakek
hanya duduk merenung di sini? Apa Kakek ada masalah?”
“Tiada hari
tanpa masalah di hidup kakek sekarang, jadi hanya ini yang bisa Kakek lakukan
setiap malam.” Jawabku.
“Kenapa Kakek
tidak menghabiskan waktu bersama cucu-cucu Kakek?” Tanyanya ingin tahu.
“Jangankan
punya cucu, anak pun Kakek tidak punya.” Jawabku lagi.
Kemudian mulailah aku bercerita tentang kelamnya fajarku
waktu itu, kepada nya. Aku adalah lelaki tua kelahiran tahun 50’an, yang lahir
di tengah-tengah keluarga konglomerat. Karena kakek ku berkebangsaan Belanda.
Sejak kecil aku selalu merasa senang, apa yang aku inginkan pasti bisa aku
dapatkan. Hingga fajar itu membuat hatiku berbisik bahwa ini bukan hanya mimpi,
ini adalah kenyataan dan aku tidak perlu bermimpi karena kenyataan di hidupku
telah lebih dari cukup.
Ternyata bisikan hati kecilku tadi berani menyeretku ke
dalam hal-hal negaif. Pikiranku tidak dapat maju dan berkembang karena aku
tidak punya mimpi saat itu. Mengingat memori fajarku yang kelam saja, sudah
agak sulit ku rasa. Yang kuingat, pada tahun 71 aku berkumpul bersama
teman-teman brandalku di warung remang-remang meneguk miras. Tidak hanya satu
atau dua botol yang kami habiskan tetapi bahkan mencapai puluhan botol miras
dengan segala jenis yang tersedia. Kemudian seorang temanku menyeletuk,
“Eh, anak
konglomerat! Apa kau tak mau punya istri dan anak?”
“Buat apa istri?
Kalau mau gitu-gituan kan bisa pakai yang ada di sini, terus kalau anak ya
tinggal buat saja lah..!” jawabku.
“Hahahahaha.”
Kami tertawa setelah aku selesai menjawab pertanyaan itu.
Itulah sepenggal dialog yang masih kuingat hingga saat ini.
Tidak banyak yang kuingat karena waktu itu aku dalam keadaan setengah sadar.
Setelah agak lama bercengkerama dengan masa mudaku yang
kelam, bersama anak muda itu, tidak terasa jarum pendek jam dinding yang
menggantung di tiang beranda rumah ini telah menunjukkan pukul sembilan malam.
Langit semakin gelap, belum sempat aku mengakhiri ceritaku tadi, anak muda itu
terlihat gelisah seperti hendak pamit pulang tapi segan mengatakannya karena
dari tadi aku terus bercerita.
Aku mengerti gelagatnya saat itu, mungkin ia hendak
beristirahat lebih awal karena keesokan harinya ia harus ke kampus. Terus
terang aku iri kepada anak muda itu karena pada zaman jahiliyahku dulu, aku
sama sekali enggan mengenal istilah “sarjana”. Maka sebagai orang yang merasa
telah gagal, aku mulai memberikan petuah kepadanya agar tidak menjadi seperti
aku. Aku adalah contoh nyata dari korban pembunuhan atas mimpiku oleh sang
senja. Ku harap ia bisa terus berlari mengejar mimpinya, memiliki semangat
membara, bukan untuk tawuran atau ugal-ugalan di jalan hingga pincang seperti
keadaanku. Tapi semangat untuk meraih apa yang diinginkannya. Sehingga ia bisa
tumbuh menjadi generasi yang membanggakan keluarga, agama, bangsa dan Negara.
Bukan malah sebaliknya, menjadi generasi yang memalukan.
0 komentar:
Posting Komentar